School Participation Rate (SPR), Gross Enrollment Rate (GER), and Nett Enrollment Rate (NER)

The successful development of a region is determined by the quality of human resources. Education is one way of improving the quality of human resources. Therefore, improving the quality of education must be pursued, beginning with opening greater opportunities for residents to education, to improving the quality and quantity of educational facilities and infrastructure. To find out how many people take advantage of educational facilities can be seen from the percentage of the population according to school enrollment. To see the participation of schools in an area commonly known as multiple indicators to find out, among other things: School Participation Rate (APS), the gross enrollment rate (GER), and the enrollment rate (NER).

School Participation Rate (SPR)

School Participation Rate is a measure of the absorption of the institution of the school age population. SPR is the primary indicator used to seeing people access to educational facilities, especially for school-age population. Higher Learning levels greater number of people the opportunity to get an education. However, increasing the APS can not always be interpreted as an increase in the equal opportunity to education.

Formula:

SPR (7-12) = {( Number of population aged 7-12 years who are still in school :Total population aged 7 ─ 12 years) X 100}

SPR (13-15) = {( Number of population aged 13-15 who are in school :Total population aged 13-15 years) X 100}

SPR (16-18) = {(Number of population aged 16-18 years who are in school :Total population aged 16-18 years) X 100}

Example interpretation:
Suppose the School Participation Rate (APS) of the population aged 7-12 years in the District A is 96 percent. This means there are still 4 percent of the population aged 7-12 years who are not in school.

Gross enrollment rate (GER)

Gross enrollment rate (GER), converting the participation of the population is educated according to education levels. Gross enrollment rate (GER) is the percentage of the population who were at school at a level of education (regardless of age) to the number of school-age population corresponding to the level of education.

GER is used to measure the success of the education development program organized in order to expand opportunities for people to get an education. GER is the simplest indicator to measure the absorption of the school age population in each education level.

GER values ​​can be over 100%. This is because the population of students who attend school in an education covers children aged beyond school age education is concerned. For example, many children aged above 12 years, but was still in school at the primary level or too many children who are 7 years old but not yet entered elementary school.

The presence of students with ages older than the age of the standard in a particular education level shows a case of repetition or late for school. Conversely, students who are younger than age standardized sitting in a student's education school show at a younger age.

Formula:

GER Primary School = {(Number of people in elementary school :Total population aged 7 ─ 12 years) X 100}

GER Junior High School = {(Number of people in junior high school : The population aged 13 ─ 15 years) X 100 }

GER Senior High School = {( Number of people in senior secondary school :The population aged 16 ─ 18 years) X 100}

Example interpretation:
Suppose the gross enrollment rate (GER) of the population aged 7-12 years in the District A is equal to 102 percent. This means that there are 2 percent of the population aged 7-12 years who are not in primary school.

Nett Enrollment rate (NER)

Enrollment rate (NER) is the percentage of school-age children in the group who were at school at a certain level of education in accordance with the age of the total number of children in the school age group When GER is used to determine how many school-age children who are able to take advantage of educational facilities at a given level of education regardless of how old it is, the enrollment rate (NER) measures the proportion of children who go to school on time.

If all children of school age to school on time, then the APM will reach a value of 100. In general, the value of NER will always be lower than the value of APK APK for school-age kids that include the level of education is concerned. The difference between GER and NER shows the proportion of students who go to school late or too soon. NERlimitation is the possibility of under-estimate because of the students beyond the standard age groups in a particular education level. Example: A child 6 years of age attending grade 1 will not be included in the calculation of NER because of his age is lower than the standard SD age group 7-12 years.

Formula:

NER Primary School = {( Total population aged 7 ─ 12 schools in SD :Total population aged 7 ─ 12 years) X 100}

NER Junior High School = {( Total population aged 13 ─ 15 junior high schools in : The population aged 13 ─ 15 years) X 100 }

NER Senior High School= {(Total population age 16 ─ 18 that schools in high school :The population aged 16 ─ 18 years) X 100}

Example interpretation:

Suppose enrollment rate (NER) of the population aged 7-12 years in the District A is 85 percent. This means that there is 85 per cent of the population aged 7-12 years in primary school.
 

Angka Partisipasi Sekolah, Angka Partisipasi Kasar, dan Angka Partispiasi Murni

Keberhasilan pembangunan suatu wilayah ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan salah satu cara meningkatkan kualitas SDM tersebut. Oleh karena itu peningkatan mutu pendidikan harus terus diupayakan, dimulai dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan, hingga pada peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan. Untuk mengetahui seberapa banyak penduduk yang memanfaatkan fasilitas pendidikan dapat dilihat dari persentase penduduk menurut partisipasi sekolah. Untuk melihat partisipasi sekolah dalam suatu wilayah biasa dikenal beberapa indikator untuk mengetahuinya, antara lain: Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), serta Angka Partisipasi Murni (APM).

Angka Partisipasi Sekolah (APS)

Angka Partisipasi Sekolah merupakan ukuran daya serap lembaga pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses penduduk pada fasilitas pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi Angka Partisipasi Sekolah semakin besar jumlah penduduk yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Namun demikian meningkatnya APS tidak selalu dapat diartikan sebagai meningkatnya pemerataan kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan.

Rumus:

APS (7-12) = {(Jumlah penduduk berumur 7-12 tahun yang masih sekolah:Jumlah penduduk umur 7─12 tahun) X 100 }

APS(13-15) = {(Jumlah penduduk berumur 13-15 tahun yang masih sekolah: Jumlah penduduk umur 13-15 tahun) X 100}

APS (16-18)= {(Jumlah penduduk berumur 16-18 tahun yang masih sekolah:Jumlah penduduk umur 16-18 tahun) X 100}

Contoh Interprestasi:
Misalkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun di Kabupaten A adalah sebesar 96 persen. Hal ini berarti masih ada 4 persen penduduk berusia 7-12 tahun yang tidak bersekolah.

Angka Partispasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Kasar (APK), menunjukkkan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (berapapun usianya) terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut.

APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan.

Nilai APK bisa lebih dari 100%. Hal ini disebabkan karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak berusia di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Sebagai contoh, banyak anak-anak usia diatas 12 tahun, tetapi masih sekolah di tingkat SD atau juga banyak anak-anak yang belum berusia 7 tahun tetapi telah masuk SD.

Adanya siswa dengan usia lebih tua dibanding usia standar di jenjang pendidikan tertentu menunjukkan terjadinya kasus tinggal kelas atau terlambat masuk sekolah. Sebaliknya, siswa yang lebih muda dibanding usia standar yang duduk di suatu jenjang pendidikan menunjukkan siswa tersebut masuk sekolah di usia yang lebih muda.

Rumus:

APK SD = {(Jumlah penduduk yang sekolah di SD : Jumlah penduduk umur 7─12 tahun) X 100}

APK SLTP = {(Jumlah penduduk yang sekolah di SLTP :Jumlah penduduk umur 13─15 tahun) X 100}

APK SLTA = {(Jumlah penduduk yang sekolah di SLTA :Jumlah penduduk umur 16─18 tahun) X 100}

Contoh Interprestasi:
Misalkan Angka Partisipasi Kasar (APK) penduduk usia 7-12 tahun di Kabupaten A adalah sebesar 102 persen. Hal ini berarti bahwa terdapat 2 persen penduduk yang tidak berusia 7-12 tahun yang bersekolah di SD.

Angka Partisipasi Murni (APM)

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan Bila APK digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan di suatu jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat berapa usianya, maka Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu.

Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai nilai 100. Secara umum, nilai APM akan selalu lebih rendah dari APK karena nilai APK mencakup anak diluar usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Selisih antara APK dan APM menunjukkan proporsi siswa yang terlambat atau terlalu cepat bersekolah. Keterbatasan APM adalah kemungkinan adanya under estimate karena adanya siswa diluar kelompok usia yang standar di tingkat pendidikan tertentu. Contoh: Seorang anak usia 6 tahun bersekolah di SD kelas 1 tidak akan masuk dalam penghitungan APM karena usianya lebih rendah dibanding kelompok usia standar SD yaitu 7-12 tahun.

Rumus:

APM SD = {(Jumlah penduduk umur 7─12 yang sekolah di SD :Jumlah penduduk umur 7─12 tahun) X 100}

APM SLTP = {(Jumlah penduduk umur 13─15 yang sekolah di SLTP :Jumlah penduduk umur 13─15 tahun) X 100}

APM SLTA = {( Jumlah penduduk umur 16─18 yang sekolah di SLTA :Jumlah penduduk umur 16─18 tahun) X 100}

Contoh Interprestasi:
Misalkan Angka Partisipasi Murni (APM) penduduk usia 7-12 tahun di Kabupaten A adalah sebesar 85 persen. Hal ini berarti bahwa terdapat 85 persen penduduk yang berusia 7-12 tahun yang bersekolah di SD.

 

Proyeksi Penduduk dengan Metode Matematik

Metode ini sering disebut juga dengan metode tingkat pertumbuhan penduduk (Growth Rates). Metode ini menyediakan estimasi dan proyeksi dari total penduduk dengan menggunakan tingkat pertumbuhan penduduk, atau untuk tingkat lanjutnya melalui fitting kurva yang menyajikan gambaran matematis dari perubahan jumlah penduduk, seperti kurva logistik. Proyeksi berdasarkan tingkat pertumbuhan penduduk mengasumsikan pertumbuhan yang konstan, baik untuk model aritmatika, geometrik, atau eksponensial untuk mengestimasi jumlah penduduk.

a. Metode Aritmatik
Proyeksi penduduk dengan metode aritmatik mengasumsikan bahwa jumlah penduduk pada masa depan akan bertambah dengan jumlah yang sama setiap tahun. Formula yang digunakan pada metode proyeksi aritmatik adalah:




b. Metode Geometrik
Proyeksi penduduk dengan metode geometrik menggunakan asumsi bahwa jumlah penduduk akan bertambah secara geometrik menggunakan dasar perhitungan bunga majemuk (Adioetomo dan Samosir, 2010). Laju pertumbuhan penduduk (rate of growth) dianggap sama untuk setiap tahun. Berikut formula yang digunakan pada metode geometrik:



c. Metode Eksponensial
Menurut Adioetomo dan Samosir (2010), metode eksponensial menggambarkan pertambahan penduduk yang terjadi secara sedikit-sedikit sepanjang tahun, berbeda dengan metode geometrik yang mengasumsikan bahwa pertambahan penduduk hanya terjadi pada satu saat selama kurun waktu tertentu. Formula yang digunakan pada metode eksponensial adalah:



Dari ketiga metode penghitungan jumlah penduduk di atas juga dapat dihitung perkiraan waktu ketika jumlah penduduk mencapai dua kali lipat (doubling time). Formula penghitungan waktu penggandaan menggunakan laju pertumbuhan penduduk aritmatik, geometrik dan eksponensial adalah sebagai berikut:




 

Proyeksi Penduduk dengan Metode Indikator

Metode perumahan merupakan salah satu metode indikator dengan menggunakan perumahan sebagai indikator dari jumlah penduduk. Metode indikator lainnya menggunakan daftar nama pemilih, atau direktori lainnya dan daftar penduduk untuk mengestimasi jumlah penduduk. Berikut beberapa prosedur yang digunakan untuk melakukan estimasi jumlah penduduk dengan menggunakan metode indikator.

a. Apportionment
Estimasi dengan metode ini mengasumsikan bahwa share penduduk sub-area terhadap area sama dengan share dari indikator sub-area terhadap indikator area.





b. Ratio Change
Prosedur ini memperbarui populasi masa lalu dengan cara mengalikannya dengan rasio dari indikator sekarang dengan indikator masa lalu. Informasi yang dibutuhkan hanya untuk area tersebut.



c. Additive Change
Prosedur ketiga juga menggunakan informasi sub-area yang bersangkutan, dengan menambahkan perubahan variabel indikator pada jumlah penduduk sub-area. Metode ini menyerupai metode perumahan ketika variabel indikatornya adalah tempat tinggal.

Estimasi jumlah penduduk sub area = jumlah penduduk sub area pada tahun 0 + perubahan indikator di sub-area.


 

Proyeksi Penduduk dengan Metode Komponen

Metode komponen kohor atau sering disebut metode komponen lebih dipercaya untuk digunakan pada proyeksi penduduk jangka panjang, karena metode komponen memperhitungkan perubahan-perubahan dalam komponen utama pertumbuhan penduduk (kelahiran, kematian, dan perpindahan). Menurut Adioetomo dan Samosir (2010), proyeksi penduduk pada waktu yang akan datang dalam jangka waktu yang relative pendek dapat menggunakan metode matematik maupun komponen, dan keduanya menghasilkan jumlah penduduk keseluruhan yang tidak berbeda jauh. Namun apabila proyeksi penduduk dilakukan untuk jangka waktu yang lebih panjang (lebih dari lima tahun), maka perbedaan proyeksi penduduk total antara kedua metode tersebut akan semakin berarti.

Masih menurut Adioetomo dan Samosir (2010), proyeksi penduduk dengan metode komponen dapat dilakukan dengan menggunakan dua teknik, yaitu demografi uniregional dan demografi multiregional. Metode demografi uniregional menggunakan angka migrasi bersih total tanpa memperhatikan kemana arus migrasi keluar dan darimana arus migrasi masuk di suatu daerah. Sementara itu, metode demografi multiregional memperlakukan migrasi masuk ke suatu daerah sebagai migrasi keluar dari daerah asal tertentu dan migrasi keluar dari suatu daerah sebagai migrasi masuk di daerah tertentu.

Metode komponen merupakan metode yang banyak digunakan untuk memproyeksikan jumlah penduduk . Metode ini memungkinkan penggunaan informasi statistik dari komponen perubahan penduduk. Metode ini memungkinkan untuk melakukan proyeksi menurut umur dan jenis kelamin. Penghitungan metode komponen kohor memperhitungkan jumlah dari setiap kohor di masa depan dengan memperhitungkan efek dari tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi.

 

Proyeksi Penduduk dengan Metode Perumahan

Metode perumahan menggunakan tempat tinggal, dan jumlah jiwa per tempat tinggal sebagai indikator jumlah penduduk. Metode ini memiliki keuntungan hanya membutuhkan jumlah tempat tinggal (rumah di suatu daerah). Dengan mengkombinasi informasi jumlah tempat tinggal yang ada dan proyeksi tempat tinggal yang akan tersedia dan yang akan dimusnahkan, metode perumahan menghasilkan proyeksi jumlah penduduk. Jumlah tempat tinggal didapatkan dari pihak yang memberi izin bangunan dan catatan bangunan, sambungan listrik, penghitungan jumlah dan tipe tempat tinggal, atau dari foto udara atau satelit. Menurut Rowland (2003), jumlah penduduk di suatu area diestimasi dengan:

Jumlah penduduk = (jumlah tempat tinggal × proporsi tempat tinggal yang dihuni × rata-rata jumlah orang yang menempati tempat tinggal yang dihuni) + jumlah penduduk yang tinggal di hunian lain.

 

Proyeksi Penduduk dengan Metode Rasio

Metode rasio memiliki keuntungan karena hanya membutuhkan informasi yang minimal untuk membangun proyeksi jumlah penduduk dari wilayah geografis yang lebih kecil dari suatu negara, wilayah, atau kota. Metode rasio mengasumsikan bahwa proporsi dari seluruh penduduk di tiap sub-area tetap konstan sepanjang waktu. Berikut adalah contoh aplikasi penggunaan metode rasio yang diambil dari Rowland (2003):

• Tabel A menunjukkan persentase dari keseluruhan populasi di setiap wilayah negara pada tahun 1990 dan 2000. Dari data persentase penduduk di kedua tahun tersebut dapat dihitung perubahan persentasenya dan rata-rata perubahan persentase setiap tahun. Contoh, persentase wilayah utara menurun dari 40 menjadi 37 persen dari total populasi, perubahan persentase dari tahun 1990 ke tahun 2000 adalah sebesar minus 3 persen. Sehingga, rata-rata perubahan persentase tahunan adalah sebesar minus 0,3 persen.

• Tabel B menyajikan proyeksi persentase di tiap wilayah sampai tahun 2025. NIlai ini diperoleh dari data tahun 2000, rata-rata perubahan tahunan di Tabel A, dan nilai n (selisih tahun proyeksi dengan tahun dasar). Contoh, persentase jumlah penduduk di wilayah Timur pada tahun 2015 adalah: (21,0 + (0,1 x 15)) = 22,5.

• Tabel C adalah jumlah penduduk di tiap wilayah berdasarkan hasil penghitungan metode rasio. Jumlah penduduk di wilayah utara pada tahun 2020 adalah 1.485.947 x (34,5/100) = 512.652.

*) Jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan penduduk geometrik sebesar 2 persen


 

Proyeksi Penduduk dengan Model Populasi

Proyeksi penduduk dengan menggunakan model populasi menggunakan asumsi populasi stabil (stable population) dan populasi stasioner (stationary population) untuk menggambarkan struktur penduduk di masa yang akan datang dalam jangka waktu yang panjang. Model populasi stabil dapat digunakan untuk proyeksi jangka panjang dari kelompok umur penduduk, tanpa detail yang biasanya dibutuhkan dalam penghitungan proyeksi penduduk (Rowland, 2003).

Karakteristik populasi stabil:
• Tingkat kelahiran dan kematian konstan dan tingkat pertumbuhan penduduk konstan.
• Struktur umur dan struktur jenis kelamin yang konstan. Sementara jumlah absolute berubah sepanjang waktu, persentase tiap kelompok umur tetap konstan.
• Populasi tertutup untuk migrasi, artinya tidak ada migrasi masuk ataupun keluar.

Penduduk di suatu wilayah dikatakan memiliki struktur umur yang stabil jika selama 100 tahun fertilitas dan mortalitas tetap konstan dan tidak ada migrasi masuk ataupun keluar (Rowland, 2003). Populasi Stasioner (Stationary population) merupakan merupakan kasus khusus dari penduduk stabil, karena memiliki karakteristik yang sama. Namun populasi stasioner memiliki tingkat pertumbuhan penduduk nol, karenanya, jumlah penduduk di tiap kelompok umur konstan.

Populasi stabil dapat menggambarkan efek jangka panjang pada struktur umur dengan tingkat fertilitas dan mortalitas tertentu , dengan menghilangkan efek dari kejadian jangka pendek seperti baby boom, kelaparan, epidemis, perang, dan bencana alam. Bentuk piramida penduduk dari populasi stabil tergantung dari tingkat penambahan penduduk alami. Jika tingkat penambahan penduduk alami tinggi, dengan kelahiran yang lebih banyak dibanding kematian, maka piramida penduduknya akan berbentuk segitiga (triangular), lebih banyak penduduk berusia muda. Sebaliknya, jika penambahan penduduknya rendah, maka piramida penduduk akan berbentuk rectangular, lebih banyak penduduk berusia tua.


 

Perkiraan Jumlah Penduduk (Population Estimate)

Informasi mengenai jumlah penduduk pada suatu waktu tertentu atau masa yang akan datang sangat dibutuhkan dalam perencanaan program dan penentuan kebijakan. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu perkiraan mengenai jumlah penduduk. Untuk membuat perkiraan jumlah penduduk dikenal beberapa istilah dan metode perkiraan penduduk yang perlu dibedakan menurut data dasar dan metode yang digunakan. Istilah-istilah yang umum dipakai adalah perkiraan penduduk (population estimate), ramalan penduduk (population forecast), dan proyeksi penduduk (population projection).

Estimasi penduduk adalah penaksiran atau perkiraan penduduk, biasanya tentang jumlahnya pada waktu tertentu. Menurut Swanson dan Siegel (2004), estimasi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu estimasi antarsensus (intercensal estimate), estimasi pascasensus (post-censal estimate), dan proyeksi. Jadi, proyeksi penduduk merupakan bagian dari estimasi penduduk. Proyeksi penduduk menggunakan metode yang lebih rinci dibanding metode estimasi lainnya, karena memperhitungkan perkembangan fertilitas, mortalitas, dan migrasi untuk kurun waktu tertentu sehingga menghasilkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.

Proyeksi penduduk dapat dibuat untuk mengetahui keadaan penduduk pada masa depan (forward projection) atau keadaan penduduk pada masa lalu (backward projection). Menurut Rowland (2003), proyeksi penduduk merupakan ramalan jumlah penduduk berdasarkan penghitungan dari jumlah penduduk masa lalu, dan masa mendatang dengan menggunakan asumsi tertentu tentang perubahan tingkat pertumbuhan penduduk dan komponen-komponennya.

Terdapat beberapa metode Proyeksi dan Estimasi Penduduk, yaitu:
1. Model Populasi
2. Metode Rasio
3. Metode Perumahan
4. Metode Indikator
5. Metode Matriks
6. Model Statistik
7. Matematika
8. Komponen Kohor

/
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Just Share - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger